Pemerintah Afghanistan bersama mitra internasional mulai menaruh fokus pada pembangunan desa sebagai langkah nyata untuk menyambut kembalinya jutaan pengungsi yang pulang dari Iran, Pakistan, Arab Saudi, dan berbagai negara lain. Program ini dipandang sebagai sinyal optimis bahwa masa depan pedesaan Afghanistan dapat kembali hidup setelah puluhan tahun dihantam perang dan keterpurukan.
Pembangunan infrastruktur fisik menjadi prioritas utama dalam proyek ini. Jalan dan jembatan diperbaiki agar arus mobilitas penduduk dan barang kembali lancar. Bagi para pengungsi yang pulang, keberadaan jalan aman adalah syarat penting untuk bisa menjangkau desa mereka, sekaligus memastikan desa tidak terisolasi dari pusat-pusat ekonomi yang lebih besar.
Selain itu, pembangunan saluran irigasi dipandang sebagai titik krusial. Sebagian besar masyarakat desa di Afghanistan menggantungkan hidup pada pertanian. Dengan sistem irigasi yang berfungsi baik, lahan dapat kembali ditanami dan ekonomi pedesaan perlahan bangkit. Tanpa itu, sulit membayangkan keberlanjutan pemukiman kembali.
Aspek perlindungan lingkungan pun tak luput dari perhatian. Dinding penahan tanah dan gorong-gorong dibangun untuk meminimalkan risiko erosi dan banjir. Bagi masyarakat yang kembali, keamanan dari bencana alam adalah syarat mendasar untuk menumbuhkan rasa percaya diri membangun hidup baru di kampung halaman.
Meski langkah ini positif, banyak kalangan menilai pembangunan infrastruktur saja belum cukup. Namun tetap harus diakui, inisiatif senilai 157 juta Afghani tersebut merupakan fondasi awal yang sangat penting. Tanpa dasar fisik, segala program sosial maupun ekonomi sulit berjalan.
Optimisme hadir karena pembangunan desa ini memberi pesan bahwa pemerintah ingin membalik halaman lama. Bukan hanya untuk memperbaiki kerusakan, melainkan juga menciptakan ruang hidup baru yang lebih layak bagi keluarga pengungsi yang selama ini terombang-ambing di luar negeri.
Tentu tantangan masih ada. Pengungsi sering kembali tanpa modal, ternak, atau bahkan benih untuk memulai usaha pertanian. Di sinilah peluang bagi pemerintah dan lembaga bantuan untuk memperluas program dengan menyediakan pelatihan keterampilan, akses modal, serta lapangan kerja yang dapat mendukung kemandirian.
Layanan sosial juga harus melengkapi pembangunan infrastruktur. Sekolah, klinik kesehatan, dan pasokan air minum bersih adalah kebutuhan vital bagi masyarakat desa. Generasi muda yang kembali bersama orang tua mereka berhak atas pendidikan yang layak agar tidak tertinggal dari dunia luar.
Isu kepemilikan tanah menjadi tantangan lain. Banyak pengungsi kehilangan dokumen atau mendapati tanah mereka telah dikuasai orang lain. Proses verifikasi dan penyelesaian sengketa tanah yang adil akan menentukan apakah para pengungsi bisa benar-benar menetap dan membangun hidup baru tanpa rasa waswas.
Selain itu, integrasi sosial juga penting. Banyak desa di Afghanistan mengalami konflik internal akibat perebutan sumber daya. Rekonsiliasi dan dialog antarkelompok menjadi kunci agar para pengungsi bisa kembali tanpa memicu ketegangan baru.
Tidak kalah penting, aspek psikososial perlu ditangani. Trauma akibat perang dan pengungsian meninggalkan luka mendalam. Dukungan konseling, komunitas yang ramah, dan rasa aman adalah unsur yang menentukan apakah masyarakat akan bertahan di kampung halaman atau kembali terpaksa mengungsi.
Meski begitu, suasana optimis menyelimuti program pembangunan desa ini. Setiap langkah perbaikan jalan, penggalian saluran air, dan pembangunan jembatan bukan sekadar pekerjaan fisik, melainkan simbol kebangkitan.
Desa-desa yang dulunya kosong perlahan mulai terdengar kembali suara anak-anak dan aktivitas pertanian. Pemandangan ini memberikan harapan baru bagi Afghanistan yang selama ini lebih sering dikaitkan dengan perang dan pengungsian.
Bagi pengungsi, pulang ke desa bukan sekadar kembali ke rumah, tetapi juga menegaskan identitas dan akar mereka. Desa menjadi tempat memulihkan rasa kebersamaan setelah bertahun-tahun hidup terpisah di negeri asing.
Program ini juga diharapkan dapat mengurangi tekanan sosial di negara-negara tetangga yang selama ini menampung jutaan pengungsi Afghanistan. Dengan adanya peluang hidup layak di tanah air, arus pemulangan dapat berjalan lebih teratur dan damai.
Pemerintah Afghanistan menyadari bahwa pembangunan desa adalah strategi jangka panjang. Membangun kembali fondasi desa berarti membangun kembali bangsa, karena sebagian besar rakyat Afghanistan hidup di pedesaan.
Meskipun kritik tetap ada, semangat optimis lebih menonjol. Banyak pihak menilai ini adalah awal yang harus dijaga momentumnya agar tidak berhenti pada pembangunan fisik semata.
Keberhasilan program ini bisa menjadi model bagaimana negara pascakonflik merangkul warganya kembali melalui pembangunan pedesaan. Langkah sederhana namun menyentuh kehidupan nyata masyarakat.
Dengan desa yang kembali hidup, Afghanistan berpeluang menulis babak baru. Bukan lagi sebagai negeri pengungsi, melainkan sebagai tanah harapan di mana jutaan orang menemukan kembali rumah mereka.
Di tengah segala keterbatasan, optimisme ini menjadi cahaya penting bagi masa depan Afghanistan. Desa yang bangkit kembali akan menjadi penopang kebangkitan nasional, menyatukan rakyat, dan membuka jalan menuju kedamaian yang lebih berkelanjutan.
0 Komentar