Isu pelanggaran hak perempuan Rohingya kembali mencuat setelah laporan investigasi dari The New Humanitarian mengungkap praktik pemaksaan kontrasepsi di kamp-kamp pengungsi Cox’s Bazar, Bangladesh. Sejumlah perempuan pengungsi mengaku dipaksa menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang seperti IUD atau implan, dengan ancaman pencabutan hak atas pendaftaran kelahiran anak mereka.
Sejak Maret hingga Mei tahun ini, sedikitnya lima perempuan Rohingya menyatakan kepada media bahwa dokter, perawat, dan otoritas kamp menekan mereka untuk memasang IUD. Empat di antaranya bahkan diancam anak mereka tidak akan diakui dan tak mendapat jatah pangan atau layanan kemanusiaan jika mereka menolak.
Kondisi ini menempatkan perempuan Rohingya dalam situasi tanpa pilihan. Mereka dipaksa tunduk demi menjamin keselamatan anak-anak dan keluarganya. Padahal, konvensi internasional dengan tegas menjamin hak reproduksi dan kebebasan menentukan metode kontrasepsi tanpa paksaan.
Rohingya selama ini hidup dalam ketidakpastian setelah melarikan diri dari kekejaman militer Myanmar sejak 2017. Krisis kemanusiaan itu diperburuk dengan kebijakan repatriasi yang belum memiliki jaminan keamanan. Di tengah kondisi kamp yang padat, miskin fasilitas, dan kekerasan berbasis gender, praktik pemaksaan kontrasepsi menjadi luka baru bagi komunitas ini.
Laporan menyebut pemaksaan kontrasepsi terjadi di sedikitnya 12 dari 33 kamp pengungsi di Cox’s Bazar. Selain pemasangan IUD tanpa persetujuan, perempuan pengungsi juga dipaksa ikut konseling tentang keluarga berencana sebagai syarat pembuatan surat nikah dan layanan dasar lain.
Meski pemerintah Bangladesh membantah adanya instruksi resmi soal pemaksaan ini, beberapa petugas kamp disebut menjalankan kebijakan tidak tertulis yang mengaitkan layanan publik dengan kontrasepsi. Sejumlah pihak menilai ini bagian dari upaya membatasi pertumbuhan populasi Rohingya yang kian membebani sumber daya di kamp.
Fakta di lapangan menunjukkan diskriminasi sistemik masih merajalela. Rohingya kerap dianggap sebagai beban dan ancaman oleh komunitas lokal dan media Bangladesh. Persepsi bahwa “Rohingya terlalu banyak anak” mendorong kebijakan populasi terselubung yang justru melanggar hak-hak dasar kemanusiaan.
Seorang perempuan pengungsi menceritakan dirinya dipasangi IUD tanpa persetujuan setelah melahirkan. Saat mengeluhkan rasa sakit, dokter tetap memaksanya menerima alat tersebut. Padahal ia sebelumnya lebih memilih suntikan kontrasepsi Depo-Provera yang menurutnya lebih sesuai.
Selain rasa sakit fisik, pemaksaan kontrasepsi juga memicu konflik batin. Dalam kepercayaan Rohingya yang mayoritas Muslim, pemakaman harus dilakukan tanpa benda asing di tubuh jenazah. Pemasangan IUD atau implan yang tidak bisa dicabut sewaktu-waktu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para perempuan pengungsi.
Organisasi kemanusiaan dunia seperti UNHCR dan IOM sudah dua kali mengirim surat protes ke otoritas Bangladesh sejak Oktober 2024. Namun laporan pelanggaran terus berdatangan hingga pertengahan 2025, menandakan lemahnya pengawasan di lapangan.
Pejabat Bangladesh menepis tudingan adanya instruksi resmi, menyebut insiden itu akibat miskomunikasi di tingkat kamp. Meski begitu, sejumlah sumber menyebut beberapa petugas kamp tetap memberlakukan syarat tak tertulis soal kontrasepsi untuk mengakses layanan dasar.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya komitmen perlindungan hak perempuan pengungsi di kamp Cox’s Bazar. Apalagi praktik ini berlangsung di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan organisasi donor internasional, meski belum terbukti keterlibatan langsung pihak luar.
Jumlah kelahiran di kamp mencapai rata-rata 115 anak per hari. Data ini kerap dijadikan alasan pemerintah Bangladesh untuk memperketat kebijakan keluarga berencana di kalangan pengungsi. Sayangnya, cara yang ditempuh cenderung koersif dan diskriminatif.
Seorang peneliti kesehatan reproduksi di kamp menyebut bahwa sebenarnya banyak perempuan Rohingya yang bersedia menggunakan kontrasepsi jika diberikan pilihan sesuai budaya dan keyakinan mereka. Sayangnya, pemaksaan justru mengikis kepercayaan terhadap layanan kesehatan.
Laporan-laporan sebelumnya juga mencatat perlakuan kasar dan rasis dari petugas kesehatan di kamp, terutama saat persalinan. Banyak perempuan Rohingya mengaku diperlakukan semena-mena tanpa persetujuan medis yang layak saat dirawat di fasilitas kamp.
Isu ini memperkuat ironi bahwa para korban genosida di Myanmar kini kembali mengalami penindasan di tempat pengungsian. Upaya pengendalian populasi yang tidak manusiawi tersebut menjadi babak baru penderitaan Rohingya di negeri orang.
Kebijakan keluarga berencana seharusnya bersifat sukarela dan berbasis kesadaran, bukan ancaman. Ketika akses pangan, layanan medis, hingga identitas anak dijadikan alat tawar, maka pelanggaran hak asasi tak terelakkan.
Ketidaktegasan lembaga internasional dalam mendorong investigasi dan sanksi terhadap pelaku turut memperburuk situasi. Praktik ini berpotensi melanggar konvensi-konvensi hak perempuan dan anak yang telah diratifikasi Bangladesh.
Nasib perempuan Rohingya di kamp kini berada di titik nadir. Di tengah ancaman kekerasan, diskriminasi, dan ketidakpastian masa depan, mereka harus menghadapi paksaan yang menginjak-injak hak tubuhnya sendiri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang nyaris luput dari sorotan global.
0 Komentar