Pertemuan delegasi Syrian Democratic Forces (SDF) dengan pimpinan Hizbullah dan jaringan pejabat lama rezim Suriah di Lebanon memunculkan gelombang spekulasi baru di Timur Tengah. Isu ini mencuat bukan karena sifat pertemuannya yang resmi, melainkan karena waktunya yang bertepatan dengan fase awal pemerintahan Suriah pasca-konflik di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.
SDF selama ini dikenal sebagai kekuatan militer non-negara yang menguasai wilayah luas di Suriah utara dan timur dengan dukungan Amerika Serikat dkk. Namun laporan tentang kontak mereka dengan Hizbullah menunjukkan bahwa organisasi ini tidak hanya bergantung pada satu poros kekuatan internasional, melainkan aktif membangun jalur komunikasi alternatif.
Pertemuan di Lebanon itu dipahami oleh banyak pengamat sebagai diplomasi lapangan, bukan deklarasi aliansi. Dalam konteks Suriah yang belum sepenuhnya stabil, komunikasi lintas kubu kerap dilakukan untuk menghindari bentrokan, mengatur wilayah pengaruh, dan memastikan jalur logistik tetap aman.
Hizbullah sendiri, dulunya di era Assad, memiliki kepentingan strategis di Suriah, terutama terkait jalur Iran–Suriah–Lebanon. Kontak dengan SDF membuka kemungkinan pengelolaan konflik yang lebih terkendali di wilayah yang berpotensi bersinggungan langsung antara kedua pihak.
Keterlibatan figur-figur yang disebut sebagai bagian dari “rezim yang digulingkan” menegaskan bahwa pertemuan ini berada di ranah jaringan lama, bukan forum negara ke negara. Lebanon selama bertahun-tahun memang menjadi ruang pertemuan aktor-aktor Suriah lintas kubu yang tidak bisa atau tidak ingin tampil di panggung resmi.
Bagi pemerintahan baru Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa, manuver ini menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi, Damaskus membutuhkan stabilitas dan pengurangan konflik bersenjata non-negara. Di sisi lain, aktivitas diplomatik SDF tanpa koordinasi formal berpotensi dipandang sebagai tantangan terhadap kedaulatan negara.
Pemerintahan Al Sharaa mewarisi negara yang masih terfragmentasi secara militer dan politik. SDF, dengan struktur sipil dan militernya, telah lama berfungsi layaknya entitas otonom yang menjalankan administrasi, keamanan, dan hubungan luar secara terbatas.
Dalam kerangka ini, langkah SDF bertemu Hizbullah dapat dibaca sebagai sinyal bahwa mereka menganggap diri sebagai aktor regional yang sah, bukan sekadar milisi lokal. Pola ini menyerupai perilaku “negara de facto” yang berusaha memastikan kepentingannya aman di berbagai skenario geopolitik.
Sebelumnya, SDF juga tercatat menjaga komunikasi dengan komunitas Alawite di pesisir Suriah dan kelompok Druze di selatan. Pendekatan lintas sektarian ini menunjukkan bahwa SDF tidak membatasi relasi berdasarkan ideologi atau identitas agama, melainkan kepentingan stabilitas dan kelangsungan kekuasaan.
Sikap tersebut membuat SDF tampak berperilaku seperti “negara normal” dalam pengertian praktis, yakni berbicara dengan semua pihak, termasuk lawan ideologis, demi menjaga posisi tawar. Ini bukan hal baru di Timur Tengah, tetapi tetap sensitif bagi negara yang baru mencoba memulihkan otoritas pusat.
Bagi Damaskus, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menarik SDF ke dalam kerangka negara tanpa memicu konflik bersenjata baru. Setiap langkah SDF yang tampak mandiri di panggung regional berpotensi memperlemah klaim pemerintah pusat sebagai satu-satunya representasi Suriah.
Namun di sisi lain, realitas lapangan memaksa pemerintah Al Sharaa bersikap pragmatis. Mengabaikan atau menekan SDF secara keras berisiko membuka front konflik baru yang justru menguntungkan aktor eksternal.
Pertemuan SDF dengan Hizbullah juga dapat dilihat sebagai pesan tidak langsung kepada Damaskus. Pesan itu menyiratkan bahwa SDF memiliki opsi dan jaringan, sehingga negosiasi masa depan tidak bisa dilakukan dengan pendekatan sepihak.
Dalam jangka pendek, implikasinya adalah meningkatnya kebutuhan dialog internal Suriah. Pemerintah baru harus menentukan apakah SDF akan diperlakukan sebagai mitra politik yang dinegosiasikan atau ancaman yang harus dilumpuhkan.
Dalam jangka menengah, langkah SDF ini memperlihatkan pergeseran dari ketergantungan tunggal pada Amerika Serikat menuju strategi diversifikasi hubungan. Perubahan ini sejalan dengan ketidakpastian komitmen AS di Suriah.
Bagi Hizbullah, membuka kanal komunikasi dengan SDF bukan berarti menyetujui visi politik mereka. Ini lebih merupakan upaya memetakan aktor-aktor nyata di lapangan yang dapat memengaruhi stabilitas jalur strategis mereka.
Sementara itu, negara-negara regional akan mengamati apakah pemerintahan Al Sharaa mampu mengonsolidasikan kekuasaan atau justru harus menerima realitas pluralitas aktor bersenjata yang semi-otonom.
Fenomena SDF yang menjalin kontak dengan berbagai komunitas dan kekuatan bersenjata menandai perubahan karakter mereka dari sekadar pasukan anti-ISIS menjadi entitas politik dengan agenda jangka panjang.
Perilaku seperti ini memperkuat persepsi bahwa masa depan Suriah tidak hanya ditentukan oleh Damaskus, tetapi juga oleh aktor-aktor non-negara yang telah lama mengisi kekosongan kekuasaan.
Bagi publik Suriah, dinamika ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bentuk negara pascaperang. Apakah Suriah akan kembali menjadi negara terpusat yang kuat, atau bergerak menuju model yang lebih terfragmentasi dan kompromistis.
Pertemuan di Lebanon itu mungkin berlangsung sunyi, tetapi gaung politiknya terdengar hingga Damaskus. Di tengah transisi kekuasaan, setiap langkah SDF kini bukan lagi sekadar manuver militer, melainkan bagian dari pertarungan menentukan wajah Suriah ke depan.








0 Komentar